Pergulatan politik dan hukum di Indonesia Unknown Binding. Unknown Binding. Amandemen konstitusi menuju reformasi tata negara Unknown Binding. Terutama dari jurusan Sejarah, Filsafat, Ilmu Sosial dan Politik, Hukum, dan Ekonomi. Selain bacaan yang sesuai dengan bidang studi, buku ini membantu.
Berdasarkan karyanya Mahfud mencoba melihat hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Berdasarkan hasil penelitiannya, Mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkan. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan di negara yang berkonfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis.
Pernyataan tersebut dapat disajikan da;am gambar sebagai berikut. Fakta membuktikan bahwa kendati tidak menyebutkan politik hukum kodifikasi dan unifikasi, pemerintah tetap berupaya melakukan kebijakan tersebut. Hanya saja, seiring dengan perkembangan sosial-politik dan kesadaran hukum masyarakat, kebijakan tentang unifikasi hukum mengalami tantangan dari banyak pihak.
Setelah menerima kritik yang bertubi-tubi dan mengalami puncaknya ketika disahkan pemberlakuan peradilan ISLAM, mahkamah Syar’iyah, di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (1) Tampaknya ada kecenderungan kuat Indonesia tidak lagi menganut politik hukum unifikasi, tetapi telah beralih ke pluralisme hukum; 2) berbeda debga politik unifikasi yang cenderung diitinggalkan, politik hukum kodifikasi masi tetap dilakukan. Tujuan negara yang dicita-citakan dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertivab dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apa yang terdapat dalam pembukaan itu kemudian dijabarkan lebih rinci pada pasal-pasal UUD 10945 tersebut, dan dioperasionalkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lain yang ada dibawahnya. Pemerintahan atau lembaga negara serta cita-cita suatu negara merupakan bagian dari studi hukum tata negara. Artinya hal-hal yang berkaitan dengan politik hukum dalam pengertian teoritis dan praktis (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata hukum, dan “teknik hukum” yang menyangkut cara membentuk hukum) kini menjadi kajian dalam disiplin ilmu tersebut. Hal ini sesuai dengan pnegrtian hukum tata negara yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dalam sebuah tulisan yang berjudul Thorbecke en het Administratief Reacht (1919) yang mengatakan bahwa hukum tata negara adalah rangkaian peraturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (organ) suatu negara dengan memberikan wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya.
Para pemikir aliran kritis-konstruktivis pada dasarnya memahami politik hukum internasional dari dasar struktur kostitusional pembuatan perjanjian internasional, di mana negara dipandang sebagai sebuah entitas yang diakui secara hukum (juridically recognised) dan penciptaa norma-norma mengenai pengakuan dan keadilan prosedural yang digunakan dalam pembuatan perjanjian. Tujuan ideal dari struktur tersebut adalah terciptanya norma-norma pengikat yang bersifat mutual, yang akan membawa negara-negara yang terlibat perjanjian ke dalam keputusan yang didasari atas saling pengertian, tanpa paksaan.
Perjanjian internasional merupakan wujud dari politik hukum internasional, dimana politik hukum dijadikan sebuah alat untuk melakukan sebuah perjanjian antara negara ataupun organisasi dunia. Politik hukum merupakan sebuah dasar untuk menentukan arah kebijakan suatu negara. Termasuk dalam membuat suatu perjanjian internasional seperti halnya, Amerika yang menolak untuk menandatangani UNCLOS (United Nation Convention Of The Law On The Sea) dimana perjanjian tersebut merupakan pengakuan atas adanya negara-negara kepulauan termasuk hak-hak yang dimiliki oleh negara kepulauan tersebut.
Amerika Serikat memandang bahwa perjanjian tersebut sama sekali tidak memberikan manfaat untuknya sehingga politik yang merupakan alat untuk menentukan arah kebijakannya tidak mengakui adanya UNCLOS tersebut walaupun dalam hal ini Amerika Serikat hanya melakukan pengakuan secara diam-diam.